Manusia Adalah Sahabat Lingkungan?
Rahmat Suatan
Seorang teman pernah mengajari anaknya, "nak jangan sekali-kali membuang bungkus permen sembarangan ya, nanti terjadi banjir loh." Tentu saja sang anak heran, masak sih dengan hanya bungkus permen saja bisa banjir. Mungkin anak hanya befikir satu buah bungkus permen yang dia pegang. Dia tidak berfikir bahwa dalam hari yang sama juga mungkin ribuah bahkan jutaan orang sedang memegang bungkus permen seperti dirinya. Dan jika secara bersamaan mereka membuang bungkus permen sembarangan, berarti jutaan bungkus premen itu akan berada pada tempat bebas, terbawa angin atau aliran air, kemudian masuk selokan dan kali, ketika terjadi hujan lebat akan mengakibatkan hambatan aliran air, dan air akan meluap ke jalan-jalan dan daratan lain. Bukankah ini yang disebut banjir, yang kemudian dapat mengakibatkan bencana kemanusiaan?
Tidak terbayang memang satu bungkus permen akan mengakibatkan banjir, kalau kita selalu berfikir hanya diri sendiri. Padahal dalan komunitas sosial, perilaku kolektif akan memberikan efek yang lebih besar dari apa yang dilakukan oleh individu. Yang menjadi persoalan, banyak orang yang tidak menyadari efek dari perbuatannya ini.
Dalam konteks ini kemudian bagaimana sesungguhnya kita membaca sebuah fenomena kebersihan menjadi sangat penting. Bukan karena dalam hadits disebutkan bahwa kebersihan merupakan sebagian dari pada iman, atau karena Allah menyukai orang-orang yang mensucikan dirinya (QS. Al-Baqarah:222), tetapi sesungguhnya secara kasat mata saja perilaku tidak bersih (dengan membuat bungkus permen) ternyata dapat mengakibatkan tragedi kemanusiaan. Awalnya memang melihat bungkus premen sebagai bentuk kejorokan (tidak bersih), tetapi sesunguhnya perilaku tidak bersih itu tidak berdiri sendiri, sebab perilaku tidak bersih dapat mengakibatkan efek domino yang luar biasa. Dengan perilaku tidak bersih, kita telah memberikan kontribusi ketidaknyamanan bagi penduduk bumi.
Persoalan lain adalah mengapa kebersihan dalam Islam dikaitkan dengan keimanan? Selain hadits dan ayat di atas, hadits lainpun berbicara hal yang sama, "attahuuru syahru minal iimaan …, (kebersihan itu adalah separuh dari iman…)" (HR. Muslim). Dalam masyarakat transformatif, keimanan begitu erat dengan kehidupan reel. Penekanan pada aspek kebersihan merupakan upaya untuk memberikan kontribusi terhadap peradaban manusia. Ketidakpedulian terhadap kebersihan lingkungan merupakan pengingkaran atas keimanan. Karenanya mereka yang tidak senantiasa memelihara kebersihan berarti mereka telah cacat imannya.
Begitu pentingnya kebersihan hingga Allah banyak memberikan penegasan berkenaan dengannya. Sandaran teologis ini sejatinya dijadikan undang-undang pertama bagi manusia dalam konteks etika berperilaku di bumi. Walaupun demikian, manusia dapat memilih jalan lain dalam membuka wawasan membangun keserasian dengan alam ini walaupun manusia tidak bersandar pada undang-undang manapun. Mengapa demikian, sebab pada dasarnya manusia memiliki sinergi dengan alam. Prinsip ini perlu dijalankan bersama sebagai sebuah kesadaran yang kohern bahwa kita (manusia) adalah bagian dari alam semesta dan harus bersinergi denganya (Radfield, 2005: 54). Kesadaran bersinergi ini menyangkut kesadaran menjaga dan memelihara lingkungan merupakan bentuk tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi.
Konsep lain dalam menjalin keharmonisan di dunia, adalah prinsip saling ketergantungan.
Prinsip ini menjadi kunci yang tidak bisa dipisahkan, sebab keduanya memiliki fungsi saling menjaga tanpa saling mengeksploitasi. Jika manusia berperilaku kotor sehingga menimbulkan bencana alam di bumi, maka yang rugi manusia sendiri. Karenanya perlakuan pertama pada lingkungan adalah penuhi haknya, yaitu dengan memeliharan dan menjaga kebersihannya. Jika lingkungan dipenuhi haknya, maka dia akan memberikan feedback kepada manusia berupa kelestarian dan ketenangan hidup. Tetapi jika manusia tidak menghormati lingkungan dengan mengotorinya, maka dia juga akan murka dan menunjukkan perilaku destruktif yang sama atau bahkan lebih.
Itulah kenapa dalam filsafat moral ditawarkan dua alternatif pilihan perilaku yang dapat dilakukan manusia. Pertama moralitas instrinsik dan kedua moralitas ekstrinsik. Modalitas instrinsik memandang bahwa suatu perbuatan menurut hakikatnya bebas lepas dari segala hukum positif. Yang dipandang adalah apakah perbuatan baik atau buruk pada hakikatnya, bukan apakah orang telah memerintahkannya atau telah melarangnya. Menyuruh anak untuk membuang bungkus permen di atas, mungkin tidak didasarkan pada undang-undang, bahwa seorang anak jika membuang permen harus pada tempatnya. Tetapi ada sebuah kesadaran yang dalam yang dapat melampaui segela bentuk undang-undang yang terkadang hanya formalistik. Bangunan kesadaran tersebut tentu tidak berawal dari sebuah kesadaran menjalankan undang-undang, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab seorang khalifah dalam rangka membangun sinergi dengan alam dan lingkungannya.
Sedangkan moralitas ekstrinsik memandang bahwa segala perbuatan yang dilakukan manusia berdasar kepada perintah atau larangan manusia lain yang lebih berkuasa atau hukum positif, baik dari manusia asalnya maupun dari Tuhan. Moralitas seperti ini juga pada dasarnya dapat dipertanggung jawabkan selama proses penghidmatan terhadap hukum tersebut dapat menyentuh sisi-sisi substansi, dan tidak berada pada lapisan permukaan saja. Hukum tidak dipandang sebagai bentuk formalitas tetapi benar-benar harus membumi dan "bunyi" dalam proses kemanusiaan.
Teladan Dari Bumi Islam
Budaya bersih bukan hanya persoalan keinginan dan kedisiplinan manusia secara umum, tetapi yang terpenting adalah keteladanan dan ketegasan dari seorang pimpinan pemerintah. Sebab tidak ada satu jengkal tanahpun di muka bumi ini yang lepas dari kekuasaan (baca pemerintahan) manusia.
Sekedar untuk mengenang, Islam sesungguhnya memiliki kenangan manis – yang senantiasa dijadikan justifikasi bahwa Islam cinta kebersihan, keindahan dan ketertiban. Islam selain memiliki konsep juga sesungguhnya memiliki keteladanan kebudayaan yang patut dicontoh ummat Islam di muka bumi ini. Bukti kegemilangan budaya ini dulu hadir di Andalusia . Siapa yang tidak mengenal Cordova, Granada , Seville dan Toledo . Dunia mengenal Andalusia sebagai pusat ilmu pengetahuan, tetapi sedikit yang mengetahu kenyataan lain.
Cordova pernah dijuluki kota teladan dunia pada masanya. Sedangkan untuk menjadi sebuah kota teladan, ada sarat yang harus dipenuhi. Syarat ini sebenarnya sudah familier di Negara kita, yaitu K3: Kebersihan, Keindahan dan ketertiban. Dilihat dari segi kebersihan, Cordova memang sangat bersih. Tidak pernah ada kasus ledakan sampah atau banjir yang disebabkan sumbatan sampah di selokan. Cordova menggunakan system aliran air (drainase) tertutup. Teknologi ini tergolong modern pada masa itu. Sedangkan dari segi keindahan, Cordova memang layak mendapat predikat itu. Cordova memiliki tata kota yang teratur sehingga sangat indah dan tertib. Tempat ibadah, istana, gedung pemerintahan dan sarana umum dibangun dengan tata kota yang sangat teratur.
Kebersihan, keindahan dan ketertiban merupakan konsep yang integral dari sebuah system tata kota yang ideal. Ketiganya harus saling mendukung tanpa mendiskreditkan satu sama lain. Untuk mewujudkan ini semua, diperlukan good will yang ditindak lanjuti dengan langkah kongkrit dari pihak pemerintah juga kesadaran ekstrinsik dan instrinsik di kalangan masyarakatnya. Karenanya keteladanan menjadi poin penting dalam wacana ini.
Jangan sampai misalnya (dalam wacana menciptakan keindahan kota ), pada satu sisi pemerintah mewajibkan kepada setiap penduduk untuk menanam pohon di sekitar rumahnya, tetapi pada sisi lain kerindangan jalanan semakin dipersempit dengan alasan yang tidak rasional. Juga ironis jika sebuah kepala pemerintahan mewajibkan kepada rakyatnya untuk membuat sumur resapan di setiap rumah dan perkantoran, tetapi pada sisi lain pemerintah menggerus dan mengeksploitasi daerah kawasan lindung sebagai kawasan sumber resapan air. Ketidak seimbangan antara apa yang dilakukan masyarakat dengan langkah yang diambil pemerintah sesungguhnya menyiratkan bahwa niat baik pemerintah saja tidak cukup, tetapi harus dibarengi dengan keteladanan dengan melakukan distribusi kekuasaan yang menusiawi dan pro lingkungan. Bisa jadi 1000 pohon yang ditanam dan 1000 sumur resapan yang dibuat warga masyarakat akan kalah hanya dengan kebijakan pemerintah untuk menebang satu pohon saja di kawasan lindung sebagai pusat resapan air. Apalagi jika kebijakan pemerintah di kawasan lindung itu bukan hanya menabang satu batang pohon, tetapi mengeksploitasi dengan membabi buta hingga kawasan itu kehilangan fungsi sebenarnya (sebagai penyuplai kebutuhan air rakyat yang berada di daerah lebih rendah). Peristiwa ini tidak lain merupakan sebuah bencana keteladanan seorang pemimpin pemerintahan. Maka dapat dipastikan bahwa keinginan untuk melakukan penghijauan untuk keindahan kota itu hanya omong kosong dan basa-basi belaka.
Walaupun tidak sia-sia, seorang anak yang kemudian akhirnya menurut perintah orang tuanya membuang bungkus permen ke tempat yang benar, tidak signifikan dalam menyelesaikan masalah, sebab masyarakat kota akan tetap was-was dengan langkah yang diambil pemerintah. Kebijakan pemerintah tersebut akan mengakibatkan kekeringan pada musim kemarau dan akan menimbulkan banjir pada musim hujan – karena terjadi penggundulan hutan.
Karenanya anak di atas akan kembali bertanya kepada ayahnya itu, "ayah kenapa di kota ini tetap banjir, padahal aku kan sudah membuang bungkus permen itu pada tempatnya?". Mungkin jika ceriteranya dilanjutkan, ayah tadi akan kebingungan, sebab alasan yang diberikan kepada anaknya tidak terbukti. Atau dia akan berkata, "nak tugasmu sekarang adalah memberi keteladanan kepada Walikota-mu, supaya dia berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan, sebab jika salah, akan berakibat fatal pada banyak orang. Sekalian aja bilang, kalau dia tidak amanah dalam memerintah lebih baik jangan menjadi pemimpin aja, sebab di akhirat nanti akan dipinta pertanggungjawaban oleh Allah. Trus bilang sama dia, yang menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan itu jangan hanya para penguasaha besar yang banyak uang, tetapi rakyat secara umum, walaupun mereka tidak memiliki modal untuk nyogok Walikota. Ingat jabatan itu amanah dari Allah jadi harus dipergunakan untuk kepentingan seluruh manusia di bumi, sebab di hadapan Allah semua orang sama, kecuali orang yang berilmu dan taqwa."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar